Apa Efek Dari PP Justice Collabator Yang Berlaku? Pada 8 Mei 2025, Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku (Justice Collaborator). Peraturan ini memperkuat kerangka hukum bagi pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap kasus kejahatan terorganisir, seperti korupsi, terorisme, dan narkotika. PP ini menawarkan penghargaan berupa keringanan hukuman, pembebasan bersyarat, hingga remisi tambahan bagi justice collaborator (JC), dengan tujuan mempercepat proses penyidikan dan pengadilan. Namun, aturan ini juga memicu diskusi tentang efektivitasnya, potensi penyalahgunaan, dan dampaknya terhadap keadilan. Artikel ini akan mengulas efek dari PP tersebut, tantangan dalam implementasinya, dan implikasinya bagi pemberantasan kejahatan di Indonesia, berdasarkan informasi terkini. BERITA BOLA
Latar Belakang PP Nomor 24 Tahun 2025
PP Nomor 24 Tahun 2025 memperbarui kerangka hukum yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011. Aturan ini menegaskan bahwa tersangka, terdakwa, atau terpidana yang menjadi JC dapat menerima penghargaan seperti keringanan pidana, pembebasan bersyarat, atau remisi tambahan, asalkan mereka memberikan keterangan signifikan untuk mengungkap pelaku utama atau aset hasil kejahatan. Peraturan ini juga melibatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan rekomendasi penghargaan dan perlindungan fisik serta psikologis bagi JC.
Tujuan utama PP ini adalah memperkuat strategi pemberantasan kejahatan terorganisir, khususnya korupsi, yang sering kali melibatkan skema rumit dan sulit diungkap tanpa keterlibatan pelaku. Kasus seperti suap BTS Kominfo yang melibatkan Johnny G. Plate menunjukkan potensi JC dalam membantu penegak hukum, meskipun efektivitasnya masih dipertanyakan.
Efek Positif PP Justice Collaborator
Percepatan Penyidikan dan Pengadilan
PP ini memungkinkan penegak hukum, seperti KPK dan Kejaksaan Agung, untuk mengungkap kasus kejahatan terorganisir lebih cepat dan efisien. Dengan insentif seperti pembebasan bersyarat, pelaku cenderung lebih terbuka memberikan informasi penting, seperti dalam kasus suap penanganan perkara Mahkamah Agung yang melibatkan Hasbi Hasan. Menurut pakar hukum, seperti Boyamin dari MAKI, JC dapat memangkas waktu dan biaya penyidikan, mewujudkan asas pengadilan yang sederhana dan berbiaya murah.
Pengembalian Aset Negara
JC memiliki peran kunci dalam melacak aset hasil kejahatan, seperti uang korupsi atau hasil perdagangan narkotika. PP ini memperkuat mekanisme pengembalian aset dengan memberikan insentif kepada pelaku yang membantu mengidentifikasi lokasi aset tersebut, yang sering kali disembunyikan melalui skema pencucian uang.
Efektivitas pada Kejahatan Terorganisir
Dalam kasus terorisme, penerapan JC telah terbukti efektif, membantu program deradikalisasi dan pengungkapan jaringan teroris. PP ini diharapkan dapat memperluas keberhasilan serupa ke kasus korupsi dan narkotika, dengan syarat penerapannya selektif dan terfokus pada kejahatan besar.
Tantangan dan Kritik: Apa Efek Dari PP Justice Collabator Yang Berlaku?
Meskipun memiliki potensi besar, penerapan PP ini menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, definisi “pelaku utama” yang ambigu dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 sering menyebabkan perbedaan penafsiran antara hakim, jaksa, dan KPK. Contohnya, kasus seperti Abdul Khoir dan Kosasih Abbas menunjukkan penolakan status JC oleh hakim karena dianggap sebagai pelaku utama, meskipun telah memberikan keterangan signifikan.
Kedua, ada risiko penyalahgunaan status JC. Tanpa pengawasan ketat, pelaku kejahatan besar bisa memanfaatkan aturan ini untuk menghindari hukuman berat, yang dapat merusak rasa keadilan masyarakat. Anggota Komisi III DPR, Soedeson Tandra, menekankan perlunya pengawasan ketat agar JC hanya diberikan kepada pelaku yang benar-benar memberikan kontribusi signifikan.
Ketiga, pakar hukum seperti Abdul Fickar Hadjar mengkritik pengaturan JC dalam PP karena dianggap kurang tepat, mengingat peradilan adalah ranah independen yang seharusnya diatur oleh undang-undang, bukan peraturan pemerintah. Hal ini memicu kekhawatiran tentang potensi intervensi eksekutif dalam sistem peradilan.
Implikasi Jangka Panjang: Apa Efek Dari PP Justice Collabator Yang Berlaku?
PP Nomor 24 Tahun 2025 berpotensi mengubah dinamika penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam kasus korupsi yang masih menjadi tantangan besar. Namun, keberhasilannya bergantung pada koordinasi antara KPK, Kejaksaan, Polri, dan LPSK, serta klarifikasi definisi dan kriteria JC. LPSK, melalui Wakil Ketua Susilaningtias, menyambut positif aturan ini karena mempertegas perlindungan dan penghargaan bagi JC, yang dapat mendorong lebih banyak pelaku untuk bekerja sama.
Namun, hingga Juni 2025, penerapan JC dalam kasus korupsi belum menunjukkan dampak signifikan dibandingkan dengan kasus terorisme. Hal ini disebabkan oleh kerumitan skema korupsi yang melibatkan kode-kode rumit, seperti “Apel Washington” dalam kasus Angelina Sondakh, yang memerlukan keterlibatan pelaku untuk diuraikan. Oleh karena itu, pembaruan hukum dan pelatihan bagi penegak hukum diperlukan untuk memaksimalkan potensi JC.
Kesimpulan: Apa Efek Dari PP Justice Collabator Yang Berlaku?
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2025 tentang Justice Collaborator menawarkan peluang besar untuk mempercepat pengungkapan kejahatan terorganisir, khususnya korupsi, dengan memberikan insentif seperti pembebasan bersyarat dan keringanan hukuman. Efek positifnya meliputi efisiensi penyidikan, pengembalian aset negara, dan keberhasilan dalam kasus terorisme. Namun, tantangan seperti ambiguitas definisi pelaku utama, risiko penyalahgunaan, dan kritik terhadap pengaturan dalam PP perlu diatasi melalui pengawasan ketat dan reformasi hukum. Dengan implementasi yang selektif dan transparan, aturan ini dapat menjadi “kail besar” untuk menangkap pelaku kejahatan besar, memperkuat keadilan, dan mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.