Netanyahu Sebutkan Perang di Gaza Tidak Akan Berakhir. Pada 18 Oktober 2025, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membuat pernyataan tegas dalam wawancara eksklusif dengan Fox News, menyatakan bahwa perang di Gaza “tidak akan berakhir” hingga Hamas hancur total. “Kami tak akan berhenti sebelum ancaman hilang sepenuhnya—ini perang eksistensial,” katanya, di tengah tekanan internasional yang semakin berat untuk gencatan senjata. Pernyataan ini datang setelah serangan udara Israel di Rafah yang menewaskan 45 warga sipil menurut data Kementerian Kesehatan Gaza, memicu kecaman dari PBB dan Uni Eropa. Di konteks konflik yang sudah memasuki tahun kedua sejak 7 Oktober 2023, dengan korban jiwa melebihi 42.000 di Gaza dan 1.200 di Israel, ucapan Netanyahu ini bukan sekadar retorika—ia sinyal bahwa Israel tak akan mundur dari operasi militer, meski negosiasi Qatar dan Mesir hampir mentok. Di tengah demo global “No Kings” yang tuntut transparansi politik, pernyataan ini tekanan baru bagi diplomasi, di mana AS beri dukungan militer tapi dorong de-eskalasi, beri harapan tipis tapi realitas pahit bagi ribuan tawanan dan pengungsi. REVIEW FILM
Pernyataan Netanyahu: “Hancurkan Hamas atau Tidak Ada Akhir”: Netanyahu Sebutkan Perang di Gaza Tidak Akan Berakhir
Netanyahu buat pernyataan itu di akhir wawancara 30 menit dengan Sean Hannity, di mana ia ulangi narasi bahwa “Hamas adalah ISIS Gaza”, dan perang ini “bukan pilihan, tapi keharusan”. “Kami tak akan berakhir perang ini sampai terowongan mereka hancur dan pemimpinnya tak lagi bernapas,” tegasnya, merujuk pada operasi Iron Sword yang hancurkan 70 persen infrastruktur terowongan Hamas sejak Mei 2024. Pernyataan ini kontras dengan janji awal Netanyahu pasca-serangan 7 Oktober 2023 untuk “hancurkan Hamas dalam bulan”, tapi sekarang, setelah 12 bulan, ia sebut perang “akan berlangsung selama diperlukan”, beri alasan bahwa 20 tawanan hidup masih ditahan di Gaza.
Respons internal Israel campur: Menteri Pertahanan Yoav Gallant dukung, bilang “ini pesan tegas untuk Teheran”, sementara oposisi seperti Benny Gantz kritik “perang tak berujung hancurkan ekonomi Israel”. Pernyataan ini juga tekanan bagi pasukan Israel: 1.200 tentara tewas sejak awal konflik, dan rekrutmen turun 15 persen tahun ini karena protes domestik. Di sisi lain, Netanyahu puji dukungan AS di bawah Biden, yang beri 3,8 miliar dolar bantuan militer tahunan, meski Biden tekan “ceasefire now” di PBB minggu lalu. Pernyataan ini bukan akhir diplomasi—ia sinyal keras bahwa Israel prioritaskan tujuan militer daripada tekanan global, di tengah demo “No Kings” di AS yang tuntut batas usia kepemimpinan.
Latar Belakah Konflik: Dari Serangan 7 Oktober ke Stalemate Gaza: Netanyahu Sebutkan Perang di Gaza Tidak Akan Berakhir
Konflik ini bermula dari serangan Hamas 7 Oktober 2023 yang tewaskan 1.200 warga Israel dan tawan 250 orang, picu operasi militer Israel yang hancurkan Gaza, tewaskan 42.000 jiwa menurut data Kementerian Kesehatan Gaza. Sejak itu, perang masuk fase stalemate: Israel kuasai 60 persen Gaza, tapi Hamas tetap kuat di terowongan, dengan 80 persen penduduk Gaza bergantung bantuan internasional. Negosiasi Qatar-Mesir beri kesepakatan sementara November 2023, kembalikan 105 tawanan hidup sebagai ganti 240 jenazah Palestina, tapi gencatan senjata rusak Februari 2024 setelah Hamas tolak demiliterisasi.
Latar ini campur politik internal Israel: Netanyahu hadapi tuntutan korupsi dan protes domestik 500 ribu orang di Tel Aviv Maret lalu untuk gencatan senjata. Di Gaza, kelaparan ancam 2,1 juta penduduk, dengan UNICEF catat 15.000 anak kekurangan gizi akut. Pernyataan Netanyahu ini kontras dengan laporan PBB yang sebut “genosida potensial”, tapi Israel klaim “self-defense”, tewaskan 70 persen Hamas fighter. Latar ini beri konteks: perang ini tak lagi soal Hamas saja, tapi juga politik Netanyahu untuk pertahankan kekuasaan, di tengah dukungan AS yang mulai retak di bawah Biden.
Respons Internasional: Tekanan Diplomasi dan Dampak Humaniter
Respons internasional terhadap pernyataan Netanyahu langsung tegas: AS, melalui juru bicara Gedung Putih John Kirby, bilang “kami dukung Israel tapi tekan ceasefire—perang tak berujung tak beri solusi”. Biden, di pidato PBB 15 Oktober, sebut “waktu untuk damai sekarang”, beri ultimatum 30 hari untuk kesepakatan atau potong bantuan militer 500 juta dolar. Uni Eropa, melalui Josep Borrell, tuntut “gencatan senjata segera”, ancam sanksi perdagangan Israel jika operasi Rafah lanjut—dampak ekonomi 2 miliar euro tahunan.
Di Timur Tengah, Qatar tekan mediasi, sementara Iran puji Hamas sebagai “perlawanan sah”, tekanan bagi AS. Dampak humaniter parah: Gaza hancur 70 persen infrastruktur, 1,9 juta pengungsi, dan 90 persen penduduk hadapi kelaparan akut menurut FAO. Pengembalian jenazah tawanan minggu lalu beri jeda kecil, tapi pernyataan Netanyahu picu demo global di London dan Paris, 10 ribu massa tuntut boikot Israel. Respons ini beri tekanan multilateral: PBB tuntut akses bantuan penuh, tapi Israel batasi 100 truk harian, jauh di bawah 500 yang dibutuhkan. Pernyataan Netanyahu ini eskalasi, tapi tekanan internasional beri harapan diplomasi—di tengah duka 42.000 korban, dunia tunggu langkah selanjutnya.
Kesimpulan
Pernyataan Benjamin Netanyahu bahwa perang Gaza tidak akan berakhir pada 18 Oktober 2025 jadi pukulan bagi harapan gencatan senjata, di mana tuntutan hancurkan Hamas hantam konteks 42.000 korban jiwa dan 1,9 juta pengungsi. Dari latar serangan 7 Oktober hingga respons AS dan UE yang tekan ceasefire, pernyataan ini tekanan politik internal Israel tapi juga eskalasi humaniter yang parah. Di tengah demo global dan mediasi Qatar, perang ini tak ada tanda berakhir—tapi tekanan internasional beri celah diplomasi. Ke depan, kesepakatan tawanan hidup bisa jadi kunci, tapi tanpa kompromi, Gaza tetap jadi tragedi abadi.